Di banyak daerah, wacana seragam sekolah gratis kembali memicu perdebatan. Ada yang menuduhnya populis, ada pula yang menyebutnya tak memiliki dasar hukum. Namun polemik ini sesungguhnya memperlihatkan satu hal: sebagian pihak masih gagal membaca mandat besar yang diberikan undang-undang kepada pemerintah daerah untuk memastikan pendidikan tidak lagi menjadi beban yang menjerat keluarga miskin.
Seragam sekolah, bagi sebagian besar orang tua, bukan sekadar kain yang dijahit rapi. Ia adalah pengingat tentang kewajiban yang harus mereka tunaikan di awal tahun ajaran. Harga kain naik. Ongkos jahit melonjak. Banyak keluarga harus rela menunda kebutuhan lain demi memastikan anaknya tidak datang ke sekolah dengan seragam lusuh yang membuat mereka minder sejak hari pertama.
Dalam konteks inilah kebijakan seragam gratis yang digagas pemerintah daerah menemukan relevansinya. Undang-undang tidak hanya membolehkan, tetapi memberi ruang yang sangat jelas bagi pemerintah kota dan kabupaten untuk menghadirkan program inovatif yang meringankan beban warganya. Urusan pendidikan memang menjadi kewenangan bersama.
Pemerintah daerah ditugaskan memperluas akses, menurunkan beban biaya, dan menjamin tidak ada anak yang tertinggal karena hambatan ekonomi. Maka menyebut program seragam gratis sebagai pelanggaran hukum jelas merupakan pembacaan yang keliru.
Yang sering disamakan adalah pembiayaan operasional SMA dan SMK yang menjadi urusan provinsi. Namun seragam gratis yang diberikan pemerintah kabupaten atau kota tidak pernah dimaksudkan sebagai intervensi terhadap kewenangan itu. Bantuan tersebut ditujukan kepada peserta didik, bukan kepada sekolah. Ia adalah kebijakan sosial, bukan kebijakan pendidikan teknis.
Banyak putusan pengadilan dan praktik pemerintahan yang mengakui model bantuan semacam ini sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar warga.
Jika ada yang patut dikritik, maka kritik itu bukan pada keberanian pemerintah daerah mengalokasikan anggaran, tetapi pada mereka yang menganggap bantuan kepada anak-anak harus ditunda hanya karena soal garis koordinasi administratif.
Logika seperti itu mereduksi fungsi pemerintah menjadi sekadar penjaga pagar aturan, bukan pelayan publik yang berpikir progresif.
Program seragam gratis bahkan membuka peluang kolaborasi yang lebih luas. Di sejumlah daerah, dunia usaha mulai dilibatkan melalui pemanfaatan dana CSR. Perbankan, perusahaan pelabuhan, perusahaan energi, hingga sektor transportasi publik didorong untuk turut serta. Pendekatan ini bukan saja mengurangi beban APBD, tetapi menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial tidak cukup diserahkan kepada negara. Dunia usaha yang mengambil manfaat dari keberadaan masyarakat lokal juga memikul tanggung jawab moral untuk kembali memberi.
Narasi bahwa pemerintah daerah melanggar aturan ketika berusaha membantu warganya adalah simplifikasi yang melemahkan gagasan pemerintahan responsif.
Yang lebih tepat adalah menilai apakah kebijakan tersebut direncanakan dengan baik, mengikuti alur RKPD, dibahas dalam KUA-PPAS, dan dituangkan sah dalam APBD. Jika syarat itu dipenuhi, tidak ada satu pun pasal yang bisa dijadikan landasan untuk menyebut program ini inkonstitusional atau ilegal.
Justru sebaliknya, pemerintah daerah yang menutup mata terhadap realitas sosial dan membiarkan ongkos pendidikan terus menekan rumah tangga miskin dapat dianggap mengabaikan prinsip keadilan.
Pendidikan dasar dan menengah, pada dasarnya, tidak hanya soal mengajar dan belajar, tetapi juga soal bagaimana negara hadir dalam bentuk yang paling sederhana, memastikan seorang anak bisa berdiri di depan kelas dengan kepala tegak dan pakaian yang layak.
Seragam gratis bukanlah hadiah politik. Ia adalah alat leveling. Ia menghapus sekat sosial yang sering tampak dari perbedaan kualitas pakaian antar siswa. Ia membuat ruang kelas lebih egaliter. Ia mengurangi potensi perundungan. Ia meringankan beban psikologis anak yang orang tuanya sedang berjuang dari bulan ke bulan.
Dalam banyak penelitian kebijakan sosial, intervensi kecil seperti ini terbukti berdampak besar terhadap kepercayaan diri dan partisipasi siswa.
Dalam diskursus publik, ada kecenderungan sinis melihat program-program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Seolah bantuan kepada rakyat otomatis dicap pencitraan. Padahal, justru inilah wajah paling nyata dari negara, keberpihakan yang sederhana, yang tidak memerlukan retorika panjang, yang langsung terasa manfaatnya oleh keluarga yang tidak punya banyak pilihan.
Pemerintah daerah seharusnya tidak ragu untuk terus menghadirkan kebijakan seperti ini. Yang diperlukan adalah transparansi, akuntabilitas pengadaan, dan keterlibatan publik dalam mengawasi implementasinya. Kritik terhadap korupsi dan penyalahgunaan anggaran sah dan perlu, tetapi kritik itu tidak boleh berubah menjadi alasan untuk menghalangi kebijakan yang substansinya benar.
Pada akhirnya, debat soal seragam gratis ini bukan sekadar debat hukum. Ia adalah debat tentang arah nilai yang ingin dipegang pemerintah daerah. Apakah negara masih ingin hadir pada lapisan sosial paling rentan, ataukah menyerah pada pandangan bahwa beban pendidikan harus sepenuhnya ditanggung keluarga?
Seragam gratis memang tidak menyelesaikan semua persoalan pendidikan. Tetapi ia adalah langkah kecil yang memberi sinyal besar bahwa pemerintah daerah memilih untuk berdiri di sisi rakyat. Bahwa keberpihakan bukan hanya slogan. Bahwa negara, melalui pemerintah kota atau kabupaten, tidak menutup mata terhadap kenyataan hidup warganya.
Dan pada zaman ketika ketimpangan sosial semakin terasa di ruang publik, mungkin justru kebijakan-kebijakan sederhana seperti inilah yang menjaga agar kepercayaan terhadap institusi pemerintahan tidak runtuh. Seragam gratis memberi pesan yang kuat: bahwa negara hadir, bukan hanya memerintah.