Skip ke Konten

Kepahlawanan Gen Z dan Milenial: Dari Medan Perang ke Medan Perubahan

Oleh: Nahrul Hayat (Dosen Komunikasi Politik IAIN Parepare)
10 November 2025 oleh
Kepahlawanan Gen Z dan Milenial: Dari Medan Perang ke Medan Perubahan
Humas IAIN Parepare
Setiap 10 November, bangsa Indonesia menundukkan kepala mengenang para pahlawan yang gugur di medan perang. Namun di tengah hiruk-pikuk zaman digital, muncul pertanyaan baru, masih adakah medan perjuangan hari ini? Siapa pahlawan di tengah era algoritma, polarisasi, dan demonstrasi yang berseliweran di linimasa? Pertanyaan itu menemukan jawabannya pada sosok-sosok muda, Gen Z dan Milenial yang menjadikan ruang publik sebagai ladang pertempuran ide, bukan ladang tempur peluru.

Mereka tidak lagi mengangkat senjata, tetapi  berjuang melalui suara. Tidak lagi bersembunyi di balik parit, tetapi di balik layar ponsel. Meski demikian, substansinya tetap sama, melawan ketidakadilan, menantang kuasa yang membungkam, dan membela nilai-nilai kemanusiaan. Dari Jakarta hingga Dhaka, dari Katmandu hingga Kolombo, generasi muda Asia menorehkan bab baru kepahlawanan.

Sebuah arus perlawanan berbasis kesadaran dan solidaritas digital.
Fenomena demonstrasi mahasiswa dan pemuda di berbagai negara Asia dalam lima tahun terakhir menegaskan peran sentral pemuda dalam dinamika politik. Di Sri Lanka (2022), krisis ekonomi memicu gelombang protes besar-besaran yang dipimpin anak muda. Mereka menggulingkan rezim yang korup tanpa peluru, hanya dengan orasi, musik, dan media sosial.

Di Bangladesh (2024), demonstrasi anti-korupsi diwarnai kreativitas digital seperti poster virtual, meme sindiran, hingga yang menekan pemerintah untuk membuka akses informasi publik. Nepal juga mengalami ledakan aktivisme digital, di mana generasi muda menuntut reformasi pendidikan dan transparansi anggaran. Dan di Indonesia, geliat serupa tampak pada gerakan mahasiswa menolak kenaikan harga, undang-undang bermasalah, gaya hidup pejabat, hingga korupsi struktural.
Di titik ini, teori mediatization of politics dari Stig Hjarvard (2013) menjadi lensa penting untuk memahami pola baru kepahlawanan. Politik hari ini tidak lagi hanya berlangsung di gedung parlemen, tetapi juga di ruang media yang membentuk cara kita memaknai realitas. Gen Z dan Milenial sadar betul bahwa kamera bisa lebih tajam dari pedang. Mereka memanfaatkan logika media, kecepatan, visualitas, dan viralitas untuk membangun legitimasi moral atas gerakannya. Melalui media harapan perubahan itu diperjuangkan dan melalui media penghianat rakyat digulingkan.
Kepahlawanan Gen-Z dan milenial tidak selalu heroik dalam arti klasik. Ia sering hadir dalam bentuk narasi kecil seperti seorang relawan yang menyalurkan bantuan di daerah bencana, kreator konten yang melawan disinformasi, atau mahasiswa yang menyuarakan ketidakadilan kebijakan di ruang virtual. Di sinilah teori populisme mediatik Moffitt (2016) menjadi relevan dimana politik kini bergeser ke ranah performatif. Ranah di mana citra, emosi, dan kedekatan menjadi senjata utama. Para pemuda memahami hal ini. 

Mereka tidak sekadar meniru gaya populisme elite, tetapi menumbuhkannya dari bawah dengan memobilisasi simpati publik untuk isu-isu keadilan sosial di media sosial.

Namun di balik sinar kepahlawanan itu, ada juga bayangan yang mengintai. Di banyak kasus, gerakan anak muda dibelokkan oleh kepentingan politik lama. Tagar solidaritas berubah menjadi komoditas transaksional kampanye. Aktivisme yang lahir dari idealisme, perlahan direduksi menjadi branding partai atau figure politik tertentu. Fenomena ini memperlihatkan dilema klasik antara moralitas gerakan dan pragmatisme politik.

Kepahlawanan generasi muda diuji bukan hanya oleh represi kekuasaan, tetapi juga oleh godaan popularitas. Mereka hidup dalam zaman di mana aksi sosial bisa menjadi konten, dan konten bisa menjadi karier. Ketika setiap tindakan bisa direkam dan disukai, batas antara perjuangan dan pencitraan dapat menjadi kabur. Inilah paradoks kepahlawanan digital, antara idealisme yang murni dan performa yang dikurasi algoritma.
Meski demikian, publik jangan  buru-buru meremehkan dampak tren kepahlawanan baru ini. Gen Z dan Milenial tetap menunjukkan kapasitas reflektif yang luar biasa. Mereka memahami bahwa heroisme baru tidak selalu berarti menjadi ikon besar, tetapi menjadi bagian dari arus perubahan yang konsisten. Mereka adalah generasi yang menggugat kekuasaan sekaligus mengkritik  politik yang kehilangan nurani. Dalam demonstrasi maupun diskusi, mereka tampil bukan sekadar sebagai peserta, tetapi sebagai penggagas wacana baru tentang demokrasi yang lebih partisipatif dan transparan, tentang politik untuk mewujudkan kemaslahatan umum (res publica).
Kepahlawanan hari ini, karenanya, bukan lagi tentang siapa yang berkorban nyawa, tetapi siapa yang berani berkata benar di tengah bisingnya kebohongan.

Bukan tentang siapa yang memegang senjata, tetapi siapa yang sanggup menjaga nurani tetap tajam di tengah derasnya arus manipulasi. Refleksi ini penting terutama bagi Indonesia.

Ketika politik kian elitis, dan demokrasi direduksi menjadi ritual elektoral, justru suara generasi muda memberi harapan. Mereka hadir di jalanan, di kampus, di ruang digital, bahkan di forum-forum internasional untuk menyuarakan isu lingkungan, kesetaraan, dan keadilan sosial. Gerakan mereka lintas batas, lintas agama, dan lintas ideologi. Sebuah bentuk solidaritas global yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa masa depan hanya bisa dibangun bersama dan mereka harus terlibat dalam mewujudkannya.

Bangsa ini lahir dari darah para pahlawan yang berani menolak tunduk. Kini, generasi muda melanjutkan napas perjuangan itu dalam bentuk baru dengan kreativitas, keberanian moral, dan kecerdasan digital. Mereka bukan sekadar penerus sejarah, tetapi penulis bab berikutnya dalam kisah panjang republik ini. Maka pada peringatan Hari Pahlawan Tahun 2025 ini, barangkali sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Pahlawan tidak selalu mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang gigih menjaga akal sehat di tengah badai kebohongan. Tidak selalu mereka yang bersenta dan mengenakan seragam, tetapi juga mereka yang menggunakan ruang virtual untuk memperjuangkan perubahan.

Sebab pahlawan hari ini bukan lagi soal masa lalu, melainkan soal masa depan, dan masa depan itu kini tengah diperjuangkan oleh Gen Z dan Milenial, dengan idealisme, kreativitas, dan keberanian untuk berkata “Indonesia belum selesai, dan kami masih berjuang”.  Pahlawan telah gugur di medan tempur, saatnya pemuda jadi figur wujudkan Indonesia yang Adil dan Makmur. (*)

di dalam Opini
Urgensi Lembaga Sertifikasi Mediator di IAIN Parepare
Oleh: Rusdianto Sudirman Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare / Dosen IAIN Parepare